Wednesday, December 13, 2006
Cerita Eyang
Lima Tahun yang Lalu

"Neeeeng.. Neng Citra.." Suara tua Eyang Putriku memanggil-manggil. Aku yang baru selesai shalat dzuhur segera menghampiri dengan bawahan mukena yang belum kutanggalkan.
"Ada apa, Yang??" tanyaku seraya mendekati kursi goyang Eyang.
"Kamu lagi sibuk yah, Neng?" tanya Eyang sambil mengelus punggung tanganku perlahan. Aku menggeleng sambil tersenyum.
"Nggak koq, Yang. Aku baru selesai shalat. Sebentar ya, aku lipat dulu mukenanya.." Eyang mengangguk pelan.
Aku menghampiri Eyang yang sedang asyik merenda di kursi goyangnya. Wanita 73 tahun itu figur ibu yang menemani perjalanan hidupku. Sejak Bunda meninggal saat ku berusia 4 tahun, Eyang Putri & Eyang Papahlah yang merawatku. Bunda harus menyerah kalah melawan kanker ovarium yang dideritanya. Ayah meninggal setahun kemudian. Beliau harus menerima takdir bertemu Sang Khalik saat menjalani tugas sebagai pilot maskapai penerbangan asing. Ingatan tentang Ayah dan Bunda tak banyak yang dapat kutangkap, karena Bunda pergi saat pita memoriku baru saja berputar. Eyang-eyangku inilah yang selalu menjadi figur sempurna orangtua bagiku.

"Ada apa, Yang.. Mau aku pijitin lagi ya?" tanyaku seraya bersimpuh di dekat kaki-kaki tuanya. Eyang menoleh dan memandangku lembut.
"Iya.. Kalo Neng nggak sibuk, Eyang pingin dipijit.." kata Eyang hati-hati.
"Ya ampun Yang, gitu aja koq takut-takut.." Aku langsung ambil posisi untuk memijat kaki Eyang yang sudah mulai keriput dimakan usia.

Kegiatan memijit ini sudah bertahun-tahun aku jalani. Tak seperti anak-anak lain seusiaku, dari kecil aku sudah senang sekali memijit Eyang. Bukan ritual memijitnya saja yang membuatku gemar memijit, tapi dongeng-dongeng Eyang yang sarat nilai juga sangat aku gandrungi. Kadang-kadang, aku suka menawarkan diri untuk memijit lebih lama. Tapi Eyang malah menolak dengan alasan aku harus pergi shalat dan mengaji. Tiap hari dongeng Eyang selalu menarik untukku. Entah Eyang yang berjiwa muda atau aku yang berjiwa senja..

"Dulu ada seorang perempuan muda yang merantau ke kota ini," Eyang mulai berkisah. "Dia anak tunggal dari keluarga sederhana. Orangtuanya bekerja sebagai pegawai negeri di sebuah perusahaan milik negara. Nggak seperti anak tunggal lainnya, anak ini nggak pernah dimanja oleh orangtuanya. Karena itulah orangtuanya mengizinkan saat anak itu ingin meneruskan sekolahnya ke kota ini.."
"Memang orangtua anak itu tinggal dimana, Yang?" tanyaku antusias.
"Di Serang. Kamu tau kan Serang? Sekarang jadi ibukota propinsi Banten." Aku mengangguk.
"Anak itu dititipkan di rumah seorang kerabat di Jalan Curie.. Daerah Cipaganti. Di sanalah dia menuntut ilmu sekaligus menjadi volunteer untuk membersihkan kandang ayam yang dimiliki oleh keluarga tempat dia menumpang.. Di sana pula ia bertemu Pangerannya.."
"Oh, ya??" reaksiku begitu terbawa cerita Eyang. Eyang mengangguk.
"Dari merekalah hadir seorang bayi perempuan cantik, yang merka beri nama Citra Humaira.. Kamu, Neng.." kata Eyang sambil mengusap lembut kepalaku.

Seperti biasa, setiap Eyang usai berkisah tentang Bunda, aku selalu berlari ke perpustakaan mini milik Ayah dan asik terbenam di antara foto-foto kami. Tentu saja saat Ayah, Bunda dan aku masih dapat mengenyam kebahagiaan bersama. Seakan sudah menjadi pola yang sangat predictable, setelah melihat album tua itu, airmata ini seakan enggan berdiam di sudut mata. Dan seolah membebaskanku bermemori, Eyang selalu membiarkanku menangis sejadinya di ruangan itu..

Dan itu terjadi berulang dan berulang lagi..

Lima Bulan yang Lalu

Ini kali keenam dalam seminggu aku mengunjungi Eyang. Kali ini aku harus melepaskan Eyang dengan ikhlas untuk kembali ke pelukan Sang Khalik. Di usia yang sudah tak mungkin dibilang muda, Eyang bergumul dengan berbagai kenyataan & kedudukan. Antara sebagai seorang nenek yang telah lelah mereguk dunia dan sebagai ibu yang dahulu kasihnya sangat sedikit kurasakan. Eyang rasanya segalanya bagiku. Ceritanya, perhatiannya, tegurannya.. Semua membuatku menjadi manusia seperti hari ini. Tegar, konsekuen, objektif, peka, dan selalu siap tersenyum. Karena,"Senyummu adalah ibadah yang paling murah dan mudah, Neng.." begitu beliau selalu mengingatkanku. Kini, cerita-cerita Eyang pupus sudah, berhembus bersama nafas terakhir Eyang..

Kubiarkan rerumputan tumbuh di atas pusara Eyang, tanda tanah itu memberi manfaat bagi sekitar. Kuusap butiran bening yang meleleh pelan di pipiku. Andai aku boleh mengeluh, ingin rasanya kupertanyakan kepergian Eyang di tengah kesendirianku ini. Tapi betapa tak tahu dirinya aku ini, setelah sejuta anugerah yang diturunkan-Nya tiap menit. Aku pun mengakhiri kunjungan haru itu dengan doa yang kuharap dapat menerangi kubur Eyang-eyangku, Ayah dan Bunda. Ya Rabb, hanya inilah yang dapat kukirimkan dari lisan ini..

Lima Bulan Kemudian

Hari ini adalah hari persandinganku dengan seorang lelaki. Insya Allah shaleh. Harta paling berharga bagi seorang pengantin wanita. Aku tak ingin menangis. Tapi rasanya stok airmata di sudut mata ini sudah melebihi kapaitas. Cairan ini terus mengalir dan mengalir. Ah, aku bohong.. Aku memang ingin menangis sepuasnya hari ini.

Ayah, Bunda, Eyang..
Hari ini aku disunting seorang lelaki beriman. Sesuai doa kalian sejak aku kecil dulu. Kini aku bersiap untuk melangkah menjadi seorang istri dan calon ibu dari anak-anak lelaki ini. Allah berencana Maha Indah akan ketetapannya, yang tak mengizinkan kalian menyaksikan pernikahanku. Tak memberi waktu pada kalian untuk menimang buah hatiku. Tak membiarkanku mencium tangan kalian seusai akad ini. Aku mengerti, sebab Ia telah menyediakan waktu dan ketetapannya di Taman Firdaus-Nya. Ah, dunia ini tentu saja tak ada apa-apanya..

Lima Bulan Setelah Itu

"Citra.. Yuk, kita udah terlambat nih. Ntar dokternya keburu praktek di tempat lain," tegur Mas Adri dengan lembut. Aku terhenyak. Pikiran ini tengah mengembara di siang bolong, membayangkan calon buah hati ini berlarian dengan Eyang dan Ayah Bundaku.
"Aduh, maaf Mas.. Aku jadi ngelamun gini," jawabku seraya bangkit dari sisi pusara orang-orang yang paling kucinta.
"Nanti kita kesini lagi ya, Ci.." Aku mengangguk.

Eyang, Ayah, Bunda..
Harapku kalian bisa menyaksikan perutku membuncit karena terhuni oleh sebuah nyawa baru. Namun Allah lebih menyayangi kalian. Tak apa, aku paham. Doamu semasa hidup sudah cukup mengisi bahan bakar nadiku untuk membesarkan amanah-Nya dengan kasih tak berbatas..

Untuk cinta yang sudah tercipta. Untuk waktu yang telah terajut indah. Untuk cerita sederhana namun sarat makna. Untuk petuah yang tersisip rapi dalam hidup ini.. Tak hentinya kuucap syukur dalam sujud-sujudku, bahwa telah Allah ukir masa indah dengan kalian, yang tak ternilai dengan gemerlap dunia.. Alhamdulillah..

KL, 13 December 2006
For all my Dearly Beloved, who always loves me
for who I am,
unconditionally..
posted by Vina @ 11:13 PM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
 
The Writer
My Photo
Name:
Location: Perth, Western Australia, Australia

Mom of 2 Stooges (6 & 3-year old), sensitive, cheerful, friendly, humourous, claustrophobic + acrophobic, wimbledon-maniac, forgetful, damn well-organized, perfectionist,full-of-forgiveness, impatient mom yet very loving & caring person

Udah Lewat
Cerita Lama
Time & Date
Yang Namu
Links
Say Hi


Template by
Free Blogger templates
Big Thanx to
*LadyLony*
Bouncy Bubbles.Net