Thursday, March 08, 2007
Tak Cukup Hanya DNA
Astrid terhenyak seakan tak percaya akan apa yang didengarnya. Ga mungkin!! Ya Allah, hidup apa ini?? Astrid berlari sekuat tenaga menuju mobilnya & tancap gas seakan kakinya melayang ringan di atas pedal gas. Airmata mengambang di pelupuk mata indahnya. Jilbab hijau pupusnya basah oleh airmata.. Hatinya berulang kali mengucap asma Allah. Ya Allah, jika Engkau mengirimkan ini untuk mengujiku, maka berikanlah aku kekuatan untuk menghadapinya..

"Trid, kenapa loh?? Aduuh, masuk dulu deh yuk.." pekik Kiara saat mendapati sahabatnya lunglai di depan pintu.
Astrid tak dapat menjawab. Tangis yang membuncah di rongga dada membuatnya susah bernafas, apalagi bicara.

Kiara mengambil segelas teh manis & disodorkan ke hadapan Astrid yang masih menangis.
"Kenapa sih, Trid? Barusan lo dari sini ga pa-pa, malah ketawa-ketawa.. Eh, ga lama kemari lagi lo udah nangis gini.. Ada apa sih?" tanya Kiara lembut seraya mengusap kepala Astrid yang terbungkus jilbab. Astrid menggeleng tanpa maksud. Kiara masih terbingung menafsirkannya.
"Masalah sama siapa, Trid?? Ayo dong, lo harus cerita.. Ga bisa gini.."
Astrid membenamkan kepalanya di pelukan Sang Sahabat. Kalau sudah begini, tandanya Kiara harus menunggu semalam lagi agar dapat bicara dengan sehat pada sahabatnya itu.

**********

"Assalamu'alaikum.. Neng, shalat subuh dulu yuk.. Udah jam lima lewat nihh.." kata Kiara lembut seraya mengusap lengan Astrid yang tertidur di sebelahnya.
"Ya Allah, udah jam 5 lewat? Gue ga QL* deh nih.." keluh Astrid seraya mengucek matanya yang masih belum mau membuka.
"Ga pa-pa, Trid.. Ntar malem kan lo bisa QL lagi. Semalem tuh lo kayanya capek banget ya. Sampe ngigau segala.. Gue sampe ga bisa tidur, khawatir lo jadi demam. Lo kan biasanya gitu.. Capek dikit pasti demam.." kata Kiara sambil menyingkap selimut.
"Gue shalat dulu yah, Ra.. Ntar gue mau cerita sama lo.. You better prepare your ears, 'cos it's gonna be a long story.." ucap Astrid lemah seraya beranjak ke kamar mandi. Kiara menarik napas panjang.

Setelah shalat, Kiara langsung duduk manis di ranjangnya & ke dapur membuatkan setangkup roti & teh manis untuk mereka berdua.
"Nah, lo udah selesai shalat & ngaji. Sekarang gue udah siap dengerin lo.." Astrid duduk seraya melipat mukena & meletakkannya di atas kursi belajar Kiara. Astrid menarik napas panjang. Berat seakan lidahnya memulai cerita itu.
"Kemaren, pas gue baru aja pulang dari sini, Ayah sama Bunda lagi ribut. Ga ngerti masalah apa.. Tapi yang gue denger jelas banget tuh Ayah bilang bahwa Bunda ga berhak ngatur dengan siapa gue nikah karena dia.. Dia.." Tangis Astrid pecah lagi.. Kiara merengkuh bahu sahabatnya & membiarkannya menangis sekali lagi.

Kiara mengusap kepala sahabatnya dengan sabar.. Ia tak tahu lagi bagaimana harus membujuk perempuan 22 tahun ini untuk bicara. Akhirnya, tak ada jalan lain. Ia harus membiarkan perempuan rapuh ini terus menangis dan menangis sampai akhirnya ia siap untuk bertutur.

Beberapa menit kemudian, setelah Astrid terdengar lebih tenang, Kiara menyuruhnya ke kamar mandi dan meraup wajahnya agar segar.

"Nah, lo udah seger belum sekarang, Trid??" tanya Kiara seraya menyodorkan selembar handuk kecil. Astrid mengangguk lemah seraya menyeka wajahnya yang kuyu itu.
"Sekarang lo cerita yah.." Astrid mengangguk lagi.
"Kemaren tuh pas gue di pintu gue denger Ayah sama Bunda ribut gede banget. Lo tau sendiri kan, Ayah tuh emang keras, tapi yang gue salut Bunda ga pernah ngelawan. Tapi kali ini tuh Ayah emang uah kelewatan banget, Ra.." ujar Astrid dengan suara parau dan pandangan yang kosong. Matanya yang sembab masih meyiratkan duka.
"Trus??"
"Gue nyuri denger dari tempat gue parkir mobil. Ternyata selama ini Ayah tuh mau ngejodohin gue sama anak relasinya. Lo tau kan Gibran, yang gue suka ceritain itu, anaknya Om Johan??" Kiara mengangguk cepat. "Yaah, ternyata Ayah tuh udah lama banget pengen ngejodohin gue sama Gibran.."
"Trus emang kenapa, Trid? Gibran kan baik.." ucap Kiara sambil mengernyitkan dahi.
"Ya ampuun Ra, Gibran gitu loohh, dia kan udah kaya kaka gue banget. Kita tuh yang udah temenan dari jaman masih ngompol.. Dari jaman masih suka maen ayunan di pohon bareng. Trus tiba-tiba aja dijodohin gitu, hwadoooh.. Gue sih ga kebayang deh, Ra.." keluh Astrid seraya mengusap raut wajahnya yang tampak letih.
"Trus, apa yang bikin lo nangis semaleman gini? Karena mau dijodohin??" tanya Kiara masih terdengar bingung.
"Lo inget kan, cerita gue beberapa jam tadi yang gue bilang Ayah sampe bilang bahwa Bunda ga berhak ngatur dengan siapa gue bakal menikah??" Kiara mengangguk lagi. "Iya, kata-kata Ayah tuh nusuk jantung gue banget deh, Ra. Katanya, Bunda ga berhak ngatur-ngatur jodoh gue, karena dia bukan ibu kandung gue.."
"Subhanallah.." Asma Allah terlontar spontan dari lidah perempuan muda itu.

Malam pun hening sejenak. Sesaat langit Bandung mulai menggelap & jagat mulai menyepi. Suara kedua perempuan berjilbab itu pun tenggelam oleh sunyi..

**********

Astrid melajukan mobil silver gelapnya menuju Jalan Talaga Bodas, rumah yang masih menyisakan trauma di telinganya. Kali itu ia pulang hanya untuk mengambil beberapa potong baju untuk dipakainya berangkat kuliah. Mahasiswa jurusan Jurnalistik itu memutuskan untuk menenangkan diri di rumah Kiara, sahabatnya. Tak sanggup ia rasanya jika harus bertatap dengan kedua orang tua yang selama ini selalu dianggap sebagai orang tu a kandung. Ternyata selama berpuluh tahun mereka menyimpan rahasia di balik kisah itu.

"Assalamu'alaikum.." Astrid menyapa seraya melepas sepatunya di depan pintu. Sosok lanjut usia Bunda menyambut dari balik tirai kamar dan segera menghambur memeluk putrinya yang menghilang malam tadi.
"Wa'alaikumsalam.. Ya ampuun, Neng.. Masya Allah, Neng kemana aja siih? Bunda cariin dari kemaren.." tanya Bunda sambil merengkuh kepala anaknya ke dalam pelukannya.
"Astrid dari tempat Kiara, Bun.. Maap yaah.." kata Astrid salah tingkah. Tak tahu apakan panggilannya terhadap perempuan separuh baya itu masih tepat atau tidak.
"Kan udah berkali-kali Bunda bilang, kalo lagi marah jangan suka kabur-kaburan.. Ga baik buat anak perempuan, Neng.." kata Bunda seraya mengusap wajah mulus perempuan muda itu.
"Bun, benar ga sih apa yang Ayah bilang itu?" tanya Astrid seraya menggenggam tangan Bundanya dengan lembut.
"Bilang yang mana, Neng? Neng tau kan, Ayahmu kalo udah marah tuh ya semua diomong.." kata Bunda.
"Yang masalah Neng bakal dinikahin sama Gibran?"
"Bunda ga bisa ngomong masalah itu, Neng. Bunda mah terserah Neng aja.." jawab Bunda gusar. Matanya kembali menyiratkan kebingungan yang mendalam.
"Kalo terserah Neng, misalnya Neng bilang ga mau, brarti ga jadi kan, Bun??" tanya Astrid lagi.
"Iya, tapi Neng tau kan Ayahmu itu kaya apa.."
"Itu mah brarti bukan terserah Neng atuh, Bun.." Astrid beranjak meninggalkan Bundanya yang terduduk diam di sofa. Bunda menyusul ke kamar perempuan muda itu.
"Iya, Bunda usahain untuk ngomong sama Ayahmu.. Neng, jangan emosi yah.." jawab Bunda sambil mengusap lembut bahu anaknya yang tengah dalam kebimbangan.
"Kalo masalah yang satunya??" tanya Astrid perlahan & hati-hati.
"Yang mana, Neng?" Bunda balik bertanya.
"Yang Ayah bilang.. Bunda bukan ibu kandung Neng??" Bunda terkesiap tak menyangka pertanyaan itu akan meluncur dari bibir mungil anak yang sudah dirawatnya duapuluhdua tahun terakhir. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir tua perempuan itu. Hanya airmata yang mengalir di ambang matanya.
"Brarti bener kan, Bun? Bener kan Bunda bukan.. bukan ibu kandung Neng??" Tangis keduanya pecah sudah.
"Neng, denger Bunda dulu.."
"Kenapa Bunda bohong sama Neng? Kenapa selama ini semua tau sementara Neng serasa orang bodoh yang berdiri di tengah tapi ga tau apa-apa?? Kenapa Bunda tega nyembunyiin ini bertaun-taun sama Neng?" Suara Astrid meninggi sambil tangannya terus membereskan baju-baju ke dalam travel bag kecil di atas ranjangnya.
"Neng mau kemana?? Jangan pergi lagi, Neng.." kata Bunda memelas.
"Neng ga bakal pulang sampe Neng tau yang sebenernya.." jawab Astrid sambil menatap pedih kedua mata Bundanya.
"Neng.."
"Sebaiknya Bunda pikirin jawaban apa yang Bunda mau kasih ke Neng.."
"Neng!! Sebaiknya Neng tanya ke Ayah, Bunda ga bisa jawab.." Bunda berlari ke kamarnya dan menguncinya dari dalam.

Ya Allah.. Hati ini begitu luluh lantak oleh rahasia yang baru terkuak sekarang. Kenapa Kau putuskan agar aku mengetahui ini semua, Ya Allah? Bukankah ada hal-hal yang lebih baik tak kami ketahui??

Astrid bergegas menuju mobilnya dan melaju meninggalkan rumah itu. Ia membelah malam dengan galau di hati & sejuta pertanyaan pada Rabb-nya, mengapa dan mengapa..

**********

"Jadi lo kabur lagi sekarang? Ninggalin Bunda yang nangis begitu?" tanya Kiara dengan nada setengah kesal. Astrid masih cemberut. Kedua lengannya memeluk kakinya yang terbungkus celana jins lusuh.
"Gue tuh sakit banget, Ra. Lo bayanging dong, selama ini gue diboongin. Gua ga dilibatkan dalam apapun.. Mereka mungkin emang ga niat ngasih tau gue kalo ga ada kejadian kemaren.. Apa gue yang salah??" pekik Astrid lemah.
"Iya gue tau.. Tapi lo kan ga boleh gitu, Trid. Inget loh, Bunda yang selama ini ngegedein lo, ngerawat lo dari kecil sampe sekarang. Yang mengkhawatirkan elo pas elo pulang malem, yang mendoakan lo di setiap bab dalam hidup lo.. Yang selalu berharap hal terbaik dalam hidup lo.." ujar Kiara perlahan. "Harusnya lo bersyukur, lo sempet merasakan kasih sayang seorang ibu, ga kaya gue yang hidup dari tangan Tante dan Bude-bude gue, yang begitu tergantung sama belas kasih mereka.."
"Tapi paling ga kan mereka tuh Tante & Bude ASLI lo, Tante kandung lo.." sangkal Astrid dengan mata yang mulai merah hendak menangis lagi..
"Ooh, jadi menurut lo cinta seorang ibu kandung DIJAMIN pure yah? Apa kabar tuh ibu-ibu yang ninggalin anaknya di panti asuhan karena males ngurus? Trus apa maksudnya ibu-ibu hamil yang ngegugurin janinnya dengan alasan nama baik? Itu yang lo anggap cinta sejati?? Trid, cinta itu ga cukup hanya aliran DNA, kadang-kadang tetesan cinta abadi & tulus bisa lo dapetin dari strangers.." Kiara menjawab dengan tajam seakan menghujam ke tengah jantung Astrid.

Astrid begitu terluka dengan kata-kata sahabatnya itu. Diraihnya travel bag kecil yang teronggok di ranjang & Astrid, sekali lagi, melaju dalam kegelapan.

"Trid, Astrid!! Mau kemana lagi??" Teriakan Kiara sekana tak menghentikan langkah perempuan jangkung itu.

Astrid mengarahkan stir mobilnya ke arah Gasibu, dimana pusat keramaian terletak disana saat weekend. Tempat yang ga pernah dikunjunginya selama ini. Karena, waktu itu, tempatnya berada saat libur hanyalah di pelukan Bundanya. Astrid menuju sebuah pondok tempat jagung bakar dan kemudian bergabung dengan beberapa anak muda yang hendak membunuh waktu di sana.

Hatinya hambar. Nalurinya merindukan Bundanya. Namun kata hatinya enggan dibohongi. Hatinya masih terluka akan kebohongan itu.

Setengah jam di tempat itu membuatnya tak nyaman. Bukan karena keramaian dan begitu banyak pasangan yang sedang dimabuk cinta, tapi karena Astrid tak terbiasa keluar malam. Lagi-lagi karena canda & kehadiran Bunda lebih manrik dari itu semua.. Astrid menarik napas panjang. Rongga dadanya seakan tak cukup menghirup udara yang dibutuhkannya.

Astrid beranjak dari tempat itu dan melaju ke tempat Budenya di bilangan Hegarmanah. Pelarian terakhirnya.

**********

"Astrid.. Ngapain malem-malem gini?? Pasti deh. Sama Ayah ya??" tanya Bude Lia dengan tebakan jitunya. Astrid mengangguk lunglai.
"Bude lagi ngapain?" tanya Astrid basa-basi.
"Yaah, gini aja deh. Lagi merenda.. Kamu tau kan Neng, ini aja kebisaan Bude.." jawab Bude Lia seraya melepas kacamatanya. "Ayo sekarang bilang, ada apa malem-malem gini kemari??" Astrid mulai menangis lagi.
"Kemaren Ayah sama Bunda bertengkar.." Astrid memulai cerita.
"Loh Neng, bukannya udah biasa mereka bertengkar? Ayahmu kan emang keras orangnya.." ujar Bude Lia sambil mengaduk gula di dalam teh tubruknya.
"Iya Bude, tapi ribut yang ini laen.."
"Laen gimana siih??"
"Neng denger bahwa katanya Neng mau dijodohin sama Gibran, Bude tau Gibran kan, yang anaknya Om Johan itu loh.." Bude Lia mengangguk.
"Jadi Neng ga mau dijodohkan, gitu?" tebak Bude Lia.
"Iya, itu juga. Tapi yang bikin lebih nyesek tuh, Ayah bilang katanya Bunda ga berhak nentuin siapa jodoh Neng, karena.. Karena Bunda bukan ibu kandung Neng.." Astrid menyeka wajahnya yang mulai dilelehi airmata, entah untuk keberapa kali.
"Astaghfirrullah.." Bude Lia langsung menghampiri Astrid dan memeluk bahunya.
"Bude dah tau belum?" tanya Astrid polos. Bude Lia terhenyak. "Bude juga udah tau kan?"
"Trid.."
"Kenapa sih semua orang bohong sama Neng? Kenapa sih neng ga berhak tau siapa ibu kandung Neng??" pekik Astrid tak tertahan. Airmata terus menderas dari ambang matanya yang mulai sayu.
"Astrid!! Kamu sebaiknya dener dulu penjelasan Bundamu. Semua bukan tanpa alasan.. Sekarang kamu mau denger atau nggak? Kalo nggak sebaiknya kamu pulang sekarang," ujar Bude Lia tegas. Dari nadanya yang mulai memanggil 'Astrid', bukan Neng, sudah menjelaskan semua, bahwa ini bukan masalah sepele. Astrid akhirnya terdiam dan bersiap mendengarkan penjelasan Bude Lia.

Astrid disuruh duduk di sebuah bangku rotan panjang yang selalu digunakan keluarga besar untuk berembuk masalah yang agak serius.
"Astrid, bener sekali bahwa Bunda Tami bukanlah Bunda kandungmu. Bunda kandungmu adalah Marianne Bergens-Suwitohutomo, adik kandung Bude. Kami lahir dari keluarga blasteran, kakekmu dari Jerman, nenekmu dari Solo. Kami semua tiga bersaudara. Pakdemu, Johansen Bergens-Suwitohutomo meninggal saat ia masih remaja karena malaria. Tinggallah kami berdua. Dalam perjalanan, Bunda menikah dengan Pakdemu, seorang perwira dan menetap di Samarinda. Sedangkan Bunda kandungmu, Bunda Marianne, menikah dengan Ayahmu empat tahun setelah Bude menikah. Tak lama setelah menikah, Bunda Marianne melahirkan seorang anak, Astrid Bergens-Jayahadikusuma. Bunda Marianne sangat menderita beberapa bulan setelah melahirkanmu. Dokter saat itu mendiagnosa sebagai post-partum syndrome akut*. Bunda Marianne semakin sulit dikontrol. Kelakuannya semakin menjadi & membahayakan nyawamu. Suatu hari, Ayahmu mendapati Bunda Marianne sedang menyumpal saputangan ke dalam mulutmu, Ayahmu mencoba mengambilmu dari gendongannya, terjadi perebutan. Ayahmu berhasil merebutmu dan kemudian menyerahkan pada Bi Tami. Bunda Marianne lari keluar rumah dan kemudian tertabrak bus. Bunda Marianne tewas seketika, saat usiamu baru saja memasuki 2 bulan. ayahmu sangat frustrasi dan hampir gila. Bi Tamilah yang kerap menghibur dan merawat kalian saat Ayahmu sedang limbung. Kami semua sepakat, untuk menikahkan Ayahmu dengan Bi Tami, karena hubungan mereka yang sudah begitu dekat. Kamu harus tau, Bi Tamilah yang sempat menyusuimu selama 4 bulan, Trid! Karena saat itu, Bi Tami sempat melahirkan namun anaknya meninggal beberapa hari setelahnya. Begitulah cerita singkat kalian, Trid. Kamu dan Khalida adalah saudara seayah. Khalida adalah anak Ayahmu dengan Bunda Tami. Namun, kamu tau, Bunda Tami sangat menyayangimu sehingga saat ia hamil, ia nyaris menggugurkan kandungannya lantaran khawatir ia tak dapat menyediakan cinta seutuhnya buat kamu!"
Astrid menangis sejadinya mendengar kisah itu meluncur dari bibir Budenya.
"Jadi, Bude.. Bunda Neng yang asli udah ngga ada? Dimana makamnya?" tanya Astrid tercekat.
"Makamnya di Bogor, dekat makam kakek-nenekmu.." jawab Bude Lia serya mengusap lembut kedua bahu ponakannya.

Terjawablah sudah pertanyaan-pertanyaan kecil di kepalanya. Itulah kenapa wajah indonya sangat tidak mirip Bunda Tami yang membiaskan kecantikan Parahyangan, sedangkan dirinya begitu kental dengan darah Eropa. Itulah kenapa wajah Khlalida, adik lelakinya, dengannya tak ada yang mirip barang segarispun. Itulah kenapa Bunda sangat segan pada Bude Lia, karena ia menikahi majikannya sendiri. Itulah kenapa Bunda sangat menghargai pembantu, karena dia pernah menjadi golongan itu. Itulah kenapa Bunda sangat menyayanginya, sebab air susunya sempat mengalir ke dalam aliran darahnya.. Allahuakbar.. Betapa durhakanya aku pada Bundaku, yang selalu mendoakanku daam setiap bab kehidupan, yang selalu khawatir saat sesuatu yang buruk akan menimpaku, yang selalu tersenyum pertama kali saat kebahagiaan menghampiriku, selalu menangis saat kesedihan menyergapku.. Allahuakbar!! Cintanya setulus cinta laut pada sang pantai, selurus vertikal langit dengan bumi.. Gusti, betapa berdosanya aku pada Bundaku..

Astrid menghambur keluar dan menembus malam hujan itu menuju rumahnya. Jalan Cihampelas yang mulai sepi namun tetap terang berlampu diterobosnya tanpa gentar. Jalan Wastukencan yang sibuk diramaikan oleh beberapa waria dilibasnya tanpa tengok kanan kiri. Tak lama sampailah ia di sebuah rumah asri di bilangan Talaga Bodas.

"Bunda, Bunda.. Ini Neng pulang, Bun.." Astrid memanggil Bundanya dari ruang tamu. Di kamar dijumpainya Bi Jumi yang sedang membereskan baju-baju ke dlam sebuah koper kecil. "Bi, Bunda mana?"
"Bunda di rumah sakit, Neng.. Emang tadi Ayah ga nelpon?" tanya Bi Jumi bingung. Astrid langsung meraih tas bahunya dan merogoh N73-nya yang terletak di kantong dalam. Sial, HP-nya mati, entah sejak kapan.
"Wah, HP saya mati, Bi. Sekarang Bunda di rumah sakit mana, Bi? Keadaannya gimana sekarang? Ruang berapa?" tanya Astrid memberondong Bi Jumi.
"Sekarang di Rumah Sakit Al-Islam, Neng. Di kamar berapa Bibi kurang tau, karena tadi mah masih di Gawat Darurat. Tadi sempet pingsan, tapi kata Bapak mah sekarang udah sadar, cuma lagi dikasih obat tidur. Trus juga diinfus. Udah dua hari ini Ibu ga mau makan, Neng. Di kamaaaar aja. Keluar paling kalo mau ngasihin baju kotor untuk dicuci. Trus, kata Bapak mah, suka ngigau. Manggil nama Neng.." Astrid segera melesat keluar rumah meninggalkan Bi Jumi yang masih berkisah tentang Bundanya.

Ia sudah tak peduli lagi, siapa Bundanya sekarang. Yang ia tahu sekarang, Bunda Tami adalah Bunda yang selalu ada saat ia membutuhkannya, yang selalu menguntai doa saat hatinya gelisah, yang senantiasa menghiburnya saat sedih melanda.. Bundanya bukan aliran DNA-nya, tapi tetesan cintanya abadi & tulus, setulus cinta Maryam pada Nabi Isa, layaknya Siti Aminah pada Baginda Rasul dan seperti Fatimah pada Hasan dan Husein.. Bunda, bertahanlah untukku, anakmu..

Ps:
Cinta itu tak cukup hanya aliran DNA, terkadang tetesan cinta abadi & tulus terdapat di titik-titik yang tak terduga..

QL: Qiyamul Lail
Post-partum Syndrome: Sindrom Pasca Persalinan AKA Baby Blues
posted by Vina @ 6:43 PM   0 comments
The Writer
My Photo
Name:
Location: Perth, Western Australia, Australia

Mom of 2 Stooges (6 & 3-year old), sensitive, cheerful, friendly, humourous, claustrophobic + acrophobic, wimbledon-maniac, forgetful, damn well-organized, perfectionist,full-of-forgiveness, impatient mom yet very loving & caring person

Udah Lewat
Cerita Lama
Time & Date
Yang Namu
Links
Say Hi


Template by
Free Blogger templates
Big Thanx to
*LadyLony*
Bouncy Bubbles.Net